Bergiat di tempat yang terasing dan jauh dari keramaian, tidak mungkin mengandalkan orang lain untuk menolong selain diri sendiri. Hanya ada bantuan kecil untuk tim besar selama perjalanan masuk hutan yang mampu ditawarkan oleh tim rescue. Mengingatkan tim untuk bekerja sama membuka jalur secara baik, juga membuat penanda jalan yang mudah dilihat.
Dataran rendah yang terasing di tenggara jauh pulau Jawa. Mungkin itu sebutan khas yang tepat untuk menyebut Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Badan Khusus Pelantikan Mapala UI menunjuk Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat berlatih keterampilan outdoor untuk para calon anggotanya.
Kegiatan jelajah hutan sekaligus ekspedisi atas dugaan situs kerajaan Blambangan di dataran rendah tersebut akan melewati berbagai bentukan alam, mulai dari semak, hutan bambu, sungai, bukit-bukit, hingga tebing batu karst.
Jelajah hutan di taman nasional juga berarti memasuki kawasan yang jarang dan bahkan tidak pernah dilalui orang pada lazimnya. Tercatat bahwa tahun terakhir ada orang yang memasuki kawasan zona inti TNAP adalah tahun 1991. Berdasarkan catatan tersebut, sudah hampir pasti calon anggota Mapala UI yang akan melakukan penjelajahan harus membuka jalur demi dapat masuk menembus zona inti.
Apa yang terjadi di lapangan ternyata tidak berbeda jauh dengan hasil riset yang didapat. Sebanyak 41 calon anggota (caang) yang turut serta menjelajahi TNAP secara bergantian harus membuka dan merapikan jalur yang terhampar di depan mata. Memang, tidak selamanya kegiatan membuka dan merapikan jalur berpaku pada membacok batang pohon yang melintang.
Kegiatan membuka jalur juga berarti membuat penanda (marking) di batang pohon setiap 5 meter sekali. Tujuan dilakukannya marking tidak lain untuk memudahkan penjelajah hutan jika rombongan terpisah atau sewaktu-waktu harus kembali karena terjadi hal yang tidak diinginkan.
Kalau membicarakan buka jalur dan marking di hutan dengan pepohonan yang kokoh batangnya itu mungkin perkara biasa bagi para penjelajah alam pada umumnya. Namun beda cerita jika buka jalur dan marking harus dilakukan ketika menghadapi hutan bambu. Suasana hutan terlihat sama di setiap bagiannya.
Ada koloni-koloni bambu berwarna hijau kekuning-kuningan atau bambu tua berwarna kuning tua. Hal yang menjadi percuma ketika harus melakukan marking di bagian batang pohon bambu. Bagian yang dibacok akan menunjukkan bagian bambu yang kosong melompong. Sementara, bagian dalam pohon bambu yang terlihat dari lubang bacokan memunculkan warna yang senada dengan batang bambu.
Hal itu tidak dapat terelakkan dan memang menimpa tim Blambangan Heritage Expedition—sebutan untuk tim ekspedisi calon anggota Mapala UI. Caang sempat beberapa kali dihadapkan dengan hutan bambu. Yang patut diperhitungkan adalah hutan bambu yang pertama kali ditemui oleh tim ekspedisi pada hari keempat, tepatnya di zona rimba.
Saat itu, siang hari, tim memasuki hutan bambu. Kondisi tim tidak dalam keadaan rapat, ada yang terlampau jauh sudah masuk hutan bambu dan ada yang masih tertinggal di hutan tanaman biasa. Setiap membuka jalur telah disepakati agar melepas carrier kemudian mereka diharuskan kembali mengambil carrier tersebut.
Ketika orang yang membuka jalur itu kembali untuk mengambil carrier mereka, mereka justru bingung bukan kepalang menyusuri jalur sebelumnya. Rupa-rupanya cara marking yang biasa dilakukan ke batang kokoh justru menyulitkan jika diterapkan terhadap batang bambu.
Tim ekspedisi dibantu dengan mentor (Mapala UI) sempat “memutar otak” dan berdiskusi mengenai cara marking yang relevan digunakan untuk menghadapi hutan bambu. Ada yang memberi gagasan agar bambu disusun di atas tanah membentuk anak panah yang mengarahkan jalur. Sayangnya, cara itu dianggap lemah karena diasumsikan akan menimbulkan kebingungan di kemudian waktu. Akhirnya terbersitlah satu gagasan agar membuat penanda di atas tanah, tidak lagi di batang pohon.
Caranya, orang yang paling depan mengarahkan tujuan tim, orang yang berbaris di belakangnya diharuskan menyeret langkahnya sehingga tanah yang semula tertutup jatuhan dedaunan bambu dapat terlihat kontras warnanya antara warna kuning daun dengan warna coklat tanah.
Hari Pembuktian Marking
Cara ini terhitung ampuh dan semakin terbukti ketika pada hari kelima tim melaksanakan hari rehat (rest day). Kala itu ada tim yang ditugaskan untuk masuk menembus zona inti dalam rangka melakukan penelitian terhadap dugaan keberadaan situs Blambangan. Terhitung sembilan calon anggota dan enam mentor pergi menuju zona inti TNAP. Sejak pagi tim sudah berangkat dari tempat camp terakhir.
Kira-kira 750 meter tim penelitian berjalan, kami kembali dihadapkan dengan hutan bambu. Praktis kami melakukan perbuatan sama dalam hal marking. Tidak bosan-bosannya kami saling mengingatkan untuk menyeret langkah kaki seolah-olah membuat jalan setapak di antara dedaunan bambu yang berserakan. Ucapan-ucapan semisal, “jangan berhenti seret langkah!” atau “masih mau pulang? Seret langkahnya!” berulang kali berdengung di kepala sejak masuk hutan bambu.
Tepat pada jam makan siang tim peneliti sampai di “gerbang” zona inti TNAP. Betapa campur aduk perasaan kami tatkala melihat tebing karst setinggi gedung tiga lantai di depan mata. Baru pada hari kelima-lah kami menemui bentukan alam yang ekstrem semisal tebingan itu. Kami memutuskan berjalan melipir menaiki lembahan tebing yang memungkinkan untuk dilalui. Ada di antara kami yang memasang safety line dari webbing untuk keselamatan tim.
Tim penelitian memutuskan untuk makan siang di atas tebing itu. Dari ketinggian tebing sekitar 25 meter itu, kami dapat menyaksikan hamparan lautan bambu yang dikelilingi tebing menari-nari ditiup angin. Betapa chaos dan indahnya atraksi kerapatan vegetasi nun jauh di bawah sana.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB ketika hendak menentukan pergerakan tim. Pada akhirnya diambil keputusan bahwa tim tidak melanjutkan menembus zona inti dikarenakan waktu dan perbekalan yang tidak mencukupi. Akan tetapi, sebelum pergi lautan bambu di zona inti harus tetap didokumentasikan dalam bentuk foto dan video.
Selepas menuruni lembahan tebing, kami merasai suatu kelegaan. Bukan saja karena berhasil menuntaskan rasa penasaran dari keekstreman zona inti, tetapi karena lega telah melakukan marking yang tepat di hamparan hutan bambu. Trekking pulang menuju camp dilakukan dengan mengikuti warna kontras yang timbul antara coklat tanah dengan kuning dedaunan bambu. Dengan lincah dan cepatnya tim penelitian bergerak laju meninggalkan zona inti. Di antara mereka yang tidak membawa carrier, trekking dilakukan berlari. Sedangkan bagi mereka yang membawa carrier, trekking dilakukan dengan berjalan cepat.
Tidak terasa sore hampir tiba. Kami pikir baru trekking setengah jalan. Tapi tiba-tiba suara teriakan terdengar dari dekat: ioooooooooo! Kami semua tidak habis percaya. Hanya dalam waktu sekitar satu jam setengah kami berhasil kembali ke camp. Begitu cepatnya, padahal kalau dihitung-hitung waktu keberangkatan adalah dua kali lipat dari waktu pulang.
Perasaan yang bercampur aduk hari itu tiba-tiba berkesimpulan: Trekking di hutan bambu? Siapa takut!